JAKARTA, konklusi.id – Di banyak pelosok negeri, cahaya listrik kini bukan lagi sekadar penerangan malam. Ia menjelma harapan baru, simbol kemajuan, dan jembatan menuju kesejahteraan. Program Listrik Desa (Lisdes) dan Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL) yang digulirkan pemerintah di era Presiden Prabowo Subianto telah membuka babak baru pembangunan desa di seluruh Indonesia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil
Lahadalia menegaskan, perluasan akses energi menjadi wujud nyata kehadiran
negara di tengah masyarakat. “Listrik tidak hanya membuat malam lebih terang,
tapi juga menerangi masa depan warga. Pendidikan, produktivitas, hingga taraf
hidup masyarakat meningkat karena energi yang kini lebih merata,” ujarnya di
Jakarta, Selasa (21/10).
Program Lisdes telah menjangkau 10.068 lokasi, membawa
listrik bagi lebih dari 1,2 juta calon pelanggan baru. Sementara, realisasi
BPBL sudah menyentuh 155.429 rumah tangga pada 2024 dan 135.482 rumah tangga
lagi hingga September 2025, dari target 215.000 rumah tangga di akhir tahun.
Dengan capaian tersebut, rasio elektrifikasi nasional
menembus 99,1 persen. Hanya sebagian kecil wilayah terluar dan pedalaman yang masih
dalam proses penyambungan. Namun, bagi pemerintah, pekerjaan belum selesai.
“Setelah delapan dekade merdeka, tidak selayaknya ada warga yang hidup dalam
gelap. Target kita 100 persen elektrifikasi harus tercapai,” tegas Bahlil.
Dampak kehadiran listrik terlihat nyata. Ruslam, warga Desa
Bandar Jaya, Musi Banyuasin, kini bisa tersenyum lega melihat anak-anaknya
belajar tanpa khawatir bahan bakar genset habis. Di Pegunungan Arfak, Papua
Barat, Elias Inyomusi juga merasakan hal serupa.
Kampungnya kini diterangi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro
Hidro (PLTMH). “Dulu kami belajar pakai pelita. Sekarang semua rumah ada lampu.
Anak-anak bisa belajar, mama-mama bisa masak malam hari,” ucapnya.
Transformasi energi juga diarahkan ke masa depan yang lebih
hijau. Pemerintah mendorong pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan,
termasuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 100 gigawatt yang
melibatkan koperasi desa. “Ekonomi dan ekologi tidak bertentangan. Energi
bersih harus menjadi dasar pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan,” ujar
Bahlil.
Ketika cahaya listrik menembus batas desa, yang bersinar
bukan hanya lampu-lampu rumah, tapi juga asa baru masyarakat Indonesia: hidup
yang lebih layak, mandiri, dan berkeadilan energi. (uyu)
Tulis Komentar